Mengenal Polycystic Ovary Syndrome (PCOS)

Definisi PCOS

Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) adalah gangguan endokrin yang kompleks dan multifaktorial, terutama menyerang wanita usia reproduktif. Menurut WHO. 2013 Usia reproduktif pada wanita umumnya 15-49 tahun PCOS tidak hanya memengaruhi fungsi reproduksi, tetapi juga berdampak pada kesehatan metabolik dan psikologis.

Menurut kriteria Rotterdam 2003, PCOS didefinisikan sebagai adanya minimal dua dari tiga kondisi:

  1. Gangguan ovulasi (oligo/anovulasi),
  2. Tanda klinis atau biokimia hiperandrogenisme,
  3. Gambaran ovarium polikistik pada ultrasonografi.

Kondisi ini merupakan salah satu penyebab infertilitas paling umum dan juga berhubungan dengan peningkatan risiko diabetes melitus tipe 2, sindrom metabolik, dan penyakit kardiovaskular.

Epidemiologi

Prevalensi PCOS bervariasi secara global, yaitu 5–20% tergantung pada kriteria diagnostik yang digunakan (NIH 1990, Rotterdam 2003, atau AE-PCOS Society 2006).

  1. Di Amerika dan Eropa, prevalensi PCOS sekitar 6–10%.
  2. Di Asia, prevalensinya lebih tinggi, mencapai 15–20% pada wanita usia subur.
  3. PCOS juga lebih sering terjadi pada wanita dengan obesitas atau riwayat keluarga PCOS.

Selain itu, PCOS dapat muncul sejak remaja, sering ditandai oleh menstruasi tidak teratur setelah menarche, namun diagnosis sulit ditegakkan pada usia ini karena tanda pubertas juga bisa menyerupai PCOS. (Lizneva D, et al. 2016)

 

Penyebab PCOS

Hingga saat ini penyebab sindrom polikistik ovarium belum diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa hal yang dapat meningkatkan seseorang mengalami penyakit ini, yaitu:

  1. Faktor genetik: Studi menunjukkan adanya pola familial pada PCOS. Kandidat gen yang berhubungan adalah gen yang mengatur resistensi insulin dan produksi androgen.
  2. Hiperandrogenisme: Peningkatan androgen (testosteron, androstenedione, DHEAS) berasal dari ovarium maupun kelenjar adrenal. Hormon androgen yang tinggi menyebabkan hirsutisme, jerawat, dan alopecia.
  3. Disfungsi hormonal: Rasio LH/FSH sering meningkat. LH yang tinggi merangsang sel teka ovarium untuk menghasilkan androgen berlebih.
  4. Resistensi insulin: Sekitar 50–70% penderita PCOS mengalami resistensi insulin, baik pada wanita obesitas maupun non-obesitas. Kondisi ini meningkatkan risiko diabetes tipe 2.
  5. Lingkungan & gaya hidup: Obesitas sentral memperberat gejala PCOS melalui mekanisme inflamasi dan resistensi insulin.

(Azziz R, et al. 2016)

 

Gejala Klinis

PCOS memiliki spektrum klinis yang luas, sehingga sering disebut sebagai sindrom dengan fenotipe bervariasi.

  1. Gangguan Reproduksi seperti Oligomenore (siklus menstruasi >35 hari), Amenore sekunder (tidak haid ≥6 bulan), Perdarahan disfungsional (menstruasi tidak teratur, perdarahan lebih banyak atau lebih lama), dan Infertilitas (akibat anovulasi kronis). Diperkirakan 70–80% wanita dengan PCOS mengalami kesulitan hamil.

(Teede HJ, et al. (2018).

  1. Hiperandrogenisme adalah kondisi ketika seseorang memiliki jumlah androgen berlebih dalam tubuhyang lebih umum terjadi pada Perempuan sehingga menyebabkan: Hirsutisme: pertumbuhan rambut kasar pada area tubuh yang biasanya khas laki-laki (wajah, dada, punggung, perut). Dinilai menggunakan Ferriman-Gallwey score (≥8 = hirsutisme). Jerawat persisten: terutama di wajah, punggung, dan dada, sering menetap hingga usia dewasa. Alopecia androgenik: penipisan rambut pada kulit kepala (pola maskulin).

(Azziz R, et al. 2016)

3. Gejala Metabolik

(Moran LJ, et al. 2010).

  1. Gejala Psikologis seperti Peningkatan prevalensi depresi, kecemasan, dan gangguan makan. Gangguan citra tubuh akibat hirsutisme/obesitas. Risiko penurunan kualitas hidup (Dokras A, et al. 2011).

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan Rotterdam Criteria (2003), dengan syarat minimal 2 dari 3 kriteria berikut, setelah mengeksklusi penyebab lain (hipotiroid, hiperprolaktinemia, tumor androgen):

  1. Gangguan ovulasi Oligo-ovulasi atau anovulasi  Ditandai dengan siklus menstruasi yang jarang (oligomenore) atau tidak haid sama sekali (amenore). Konfirmasi anovulasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan progesteron serum fase luteal yang rendah (<3–5 ng/mL). (Rotterdam. 2004).
  2. Hiperandrogenisme: Klinis: hirsutisme, jerawat, alopecia. Biokimia: peningkatan testosteron total/bebas, androstenedione, atau DHEAS. Pemeriksaan laboratorium perlu untuk memastikan tidak ada tumor penghasil androgen. (Carmina E, et al. 2006
  3. Ovarium polikistik pada USG: ≥12 folikel kecil berdiameter 2–9 mm pada salah satu ovarium, atau Volume ovarium >10 mL. Catatan: pada remaja, ovarium polikistik tidak boleh dijadikan satu-satunya dasar diagnosis karena bisa merupakan variasi normal pubertas. (Dewailly D, et al. 2014).

Komplikasi dan Dampak Jangka Panjang

PCOS memiliki konsekuensi yang luas, bukan hanya pada reproduksi, tetapi juga metabolik, kardiovaskular, dan psikologis.

  1. Komplikasi Reproduksi

Infertilitas: akibat anovulasi kronis.

Abortus berulang: lebih sering terjadi karena kualitas oosit yang buruk.

Risiko kehamilan: preeklamsia, diabetes gestasional, kelahiran prematur.
(Palomba S, et al. 2015).

  1. Komplikasi Metabolik

Resistensi insulin: terjadi pada 50–70% pasien, meski pada wanita kurus.

Diabetes mellitus tipe 2: risiko 4–7 kali lebih tinggi dibanding populasi umum.

Sindrom metabolik: kombinasi obesitas, hipertensi, dislipidemia, resistensi insulin.
(Moran LJ, et al. 2010).

  1. Komplikasi Kardiovaskular

Hipertensi: lebih sering pada pasien PCOS dengan obesitas.

Dislipidemia: peningkatan trigliserida, LDL, dan penurunan HDL.

Aterosklerosis dini: terbukti dengan peningkatan ketebalan intima-media karotis pada pasien PCOS.

(Wild RA, et al. 2010).

  1. Komplikasi Onkologi

Kanker endometrium: risiko 2–6 kali lipat lebih tinggi akibat paparan estrogen tanpa progesteron pada anovulasi kronis.

Hubungan dengan kanker ovarium dan kanker payudara masih kontroversial.

(Chittenden BG, et al. 2009).

  1. Komplikasi Psikologis & Kualitas Hidup

Depresi dan kecemasan: prevalensi lebih tinggi dibanding wanita tanpa PCOS.

Gangguan makan: seperti binge eating disorder.

Masalah kualitas hidup: terkait obesitas, hirsutisme, infertilitas, dan stigma sosial.
(Dokras A, et al. 2011).

 

Penatalaksanaan

Manajemen PCOS harus individual, tergantung pada keluhan utama (fertilitas, siklus menstruasi, kosmetik, atau kesehatan metabolik).

  1. Modifikasi gaya hidup: Diet seimbang dengan defisit kalori pada pasien obesitas. Aktivitas fisik aerobik dan latihan resistensi untuk meningkatkan sensitivitas insulin.
  2. Terapi farmakologis: Kontrasepsi oral kombinasi: terapi lini pertama untuk mengatur siklus menstruasi dan menurunkan androgen. Metformin: untuk resistensi insulin, memperbaiki siklus, serta mengurangi risiko diabetes tipe 2.Antiandrogen (spironolakton, flutamid) → mengurangi hirsutisme dan jerawat.
  3. Terapi infertilitas: Letrozole (aromatase inhibitor) saat ini dianggap lebih efektif dibanding clomiphene citrate sebagai terapi induksi ovulasi. Jika gagal, dapat dipertimbangkan gonadotropin atau teknik reproduksi berbantu (IVF).
  4. Dukungan psikologis: konseling, terapi kognitif-perilaku, dan edukasi pasien.

(Legro RS, et al. 2014)

 

Yuk, periksa kesehatan Reproduksi Anda sejak dini. Kami siap memberikan perawatan menyeluruh, dengan fasilitas yang Kami miliki. Apabila mengalami tanda-tanda PCOS, segera periksa di Poli Kandungan Klinik Utama Sapta Medika Kediri :

Alamat            : Jl. Brigjend Katamso Nomor 49-51 Kota Kediri

Whatsapp        : 081335658002 (Poli Kandungan)

Website           : www.saptamedika.id

 

Daftar Pustaka

  1. Rotterdam ESHRE/ASRM-Sponsored PCOS Consensus Workshop Group. (2004). Revised 2003 consensus on diagnostic criteria and long-term health risks related to polycystic ovary syndrome. Fertility and Sterility, 81(1), 19–25.
  2. Teede HJ, Misso ML, Costello MF, et al. (2018). International evidence-based guideline for the assessment and management of polycystic ovary syndrome 2018. Human Reproduction, 33(9), 1602–1618.
  3. Azziz R, Carmina E, Chen Z, et al. (2016). Polycystic ovary syndrome. Nature Reviews Disease Primers, 2, 16057.
  4. Moran LJ, Misso ML, Wild RA, Norman RJ. (2010). Impaired glucose tolerance, type 2 diabetes and metabolic syndrome in polycystic ovary syndrome: a systematic review and meta-analysis. Human Reproduction Update, 16(4), 347–363.
  5. Dokras A, Clifton S, Futterweit W, Wild R. (2011). Increased risk for abnormal depression scores in women with polycystic ovary syndrome: a systematic review and meta-analysis. Fertility and Sterility, 97(1), 227–238.
  6. Carmina E, Dewailly D, Escobar-Morreale HF, et al. (2006). Criteria for defining hyperandrogenism in women with polycystic ovary syndrome: a re-evaluation. Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, 91(1), 2–6.
  7. Dewailly D, Lujan ME, Carmina E, et al. (2014). Definition and significance of polycystic ovarian morphology: a task force report from the Androgen Excess and Polycystic Ovary Syndrome Society. Human Reproduction Update, 20(3), 334–352.
  8. Palomba S, de Wilde MA, Falbo A, Koster MP, La Sala GB, Fauser BC. (2015). Pregnancy complications in women with polycystic ovary syndrome. Human Reproduction Update, 21(5), 575–592.
  9. Wild RA, Rizzo M, Clifton S, Carmina E. (2010). Lipid levels in polycystic ovary syndrome: systematic review and meta-analysis. Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, 95(5), 2038–2049.
  10. Chittenden BG, Fullerton G, Maheshwari A, Bhattacharya S. (2009). Polycystic ovary syndrome and the risk of gynaecological cancer: a systematic review. Human Reproduction Update, 15(5), 577–588.

 

Add Comment